Sabtu, 05 November 2016

RUMAH KAMPUNG

RUMAH KAMPUNG




Rumah tradisional jenis “kampung ini dapat dikatakan rumah standart yang sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat jawa. Bentuknya yang sederhana ternyata mempunyai ciri khas dan karakter kuat sebagai bangunan sederhana yang sempurna secara struktural. Bangunan pokoknya terdiri dari tiang-tiang atau “saka” yang berjumlah 4,6 atau bisa juga 8 buah dan seterusnya karena bentuknya dapat memanjang sesuai keinginan si pemiliknya. Biasanya yang dipakai sebagai tiang struktur utama sampai dengan 8 buah “saka”. Hal ini menandakan bahwa bangunan model “kampung” merupakan bangunan standart yang dapat dimodifikasi menjadi bentukan lain atau dikombinasikan dengan model-model baru yang lebih ekstrim atau classic. Bentukan atap hanya berbentuk segitiga jika dilihat dari sisi samping dengan atap terdapat pada kedua belah sisinya dan menggunakan “bubungan” atau “wuwungan”. Keseluruhan struktur rumah dari tiang-tiang penyangga,balok,kayu usuk sampai kayu reng menggunakan kayu jati atau kayu kuat jenis lain seperti kayu nangka,kayu mahoni atau kayu jawa lainnya.Rumah adat kampung hampir mirip seperti dua rumah panngang pe yang disatukan. Ciri rumah adat kampung ialah, rumah ini punya dua teras yaitu di depan dan di belakang. Ciri khas lainnya, tiang rumah ini terdiri dari kelipatan empat dimulai dari angka 8. Jadi jumlah tiangnya bisa 8, 12, 16, 20, dan kelipatannya.Seperti rumah adat lainnya, rumah kampung juga dibagi menjadi banyak tipe. Tidak kurang dari 13 tipe, di antaranya kampung pokok, pacul gowang, dara gepak, gajah ngombe, apitan, dsb. Rumah kampung merupakan rumah yang dimiliki rakyat jelata alias dari kalangan orang biasa.
Rumah tradisional Jenis Kampung Pacul Gowang
Merupakan bentuk Bangunan Tradisional Jawa yang dikembangkan dari bangunan tradisional model “Kampung pokok” dengan penggabungan bangunan lain yang berbentuk rumah panggangpe atau rumah sederhana bentuk “emper”. Bagian tersebut disebut “serambi”. keseluruhan tiang atau saka dapat berjumlah 6 buah,8 buah atau 12 buah serta kelipatannya. Bentuk bangunan ini sederhana, tetapi dapat digunakan untuk bermacam-macam fungsi. Pada perkembangannya, bentuk panggangpe ini dijadikan fungsi ruang Tamu, Teras santai atau dimodifikasi sebagai atap garasi mobil yang sederhana dan hal lainnya. Semua bentuk tersebut berdasarkan pada prinsip sederhana atapnya. Bentuk atap sederhana ini bertitik tolak terhadap iklim penghujan di daerah tropis, khususnya pulau Jawa dan Pulau-pulau di daratan tropis lainnya. Emper ini dapat disekat dengan dinding kayu atau sering disebut “gebyok” sehingga ruang didalam rumah menjadi lebih luas.
Rumah Tradisional Jenis Kampung Srotong
Merupakan rumah tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya. Rumah tradisional ini adalah perkembangan dari rumah tradisional bentuk “kampung pokok”. “Rumah kampung srotong” ini memiliki 2 buah “emper”. Jadi dapat dikatakan bahwa rumah ini terbentuk dari 2 buah bangunan bentuk rumah tradisional “panggangpe” yang disatukan sehingga mempunyai dua buah sisi atap yang sama bentuknya atau simetris. Pada titik tengah atap terdapat satu bubungan atau “wuwung” yang berfungsi untuk menyangga struktur utama atap dan sudut kemiringan atap serta mempunyai dua buah tutup keong pada sisi penutup samping kiri dan kanan atapnya. Keseluruhan konstruksi menggunakan bahan dasar kayu dengan struktur serat kuat seperti kayu jati, kayu sono keling, kayu nangka dan jenis lainnya. Pondasi utama biasanya hanya menggunakan batu yang sering disebut sebagai umpak. Struktur keseluruhan tiang tidak bersifat paten, tetapi dapat bergerak, karena menggunakan sistim konstruksi purus sebagai pengunci struktur tiang yang masuk kedalam umpak sebagai titik beban yang terpusatkan. Tiang saka pada bangunan ini keseluruhannya dapat berjumlah 8 buah, 12 buah, 16 buah dan seterusnya. Gambar diatas adalah bagunan kampung srotong yang menggunakan tiang saka sebanyak 12 buah.
Rumah Tradisional Jenis Kampung Dara Gepak
Rumah Kampung Dara Gepak merupakan bangunan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya. Bentuk bangunan ini adalah varian dari bentuk dasar “Rumah Kampung Pokok”. Rumah kampung ini memiliki ciri dan bentuk yang harmonis pada fasade dan struktur atapnya. Disebut sebagai “Kampung dara gepak” karena penambahan struktur “emper” mengelilingi bangunannya. Penambahan emper membuat rumah memiliki ukuran yang lebih besar dan dapat dipergunakan untuk berbagai macam fungsi. Tiang atau saka yang dipergunakan mempunyai jumlah 16 buah, 20 buah, 24 buah dan seterusnya. Jumlah ini dapat ditambah sesuai dengan besaran ruang yang diinginkan. Rumah kampung ini mempunyai dua buah tutup keong pada sisi kiri dan kanan struktur atapnya. Keseluruhan struktur rangka pembentuk rumah terbuat dari kayu yang mempunyai struktur serat kuat seperti kayu jati, kayu sonokeling, kayu nangka dan kayu jawa lainnya. Jenis penutup atapnya biasanya menggunakan jerami kering, Ijuk atau “genteng kripik”, yaitu genteng yang terbuat dari tanah liat tetapi sangat tipis. Terkadang struktur rangka usuk dan reng menggunakan bamboo. Semua bahan konstruksi pada pembuatan rumah ini tergantung pada tingkat perekonomian masyarakatnya sehingga bahan yang dipakai mempunyai ragam jenis. Emper depan biasanya dipergunakan sebagai tempat duduk-duduk dan emper belakang untuk menaruh barang-barang yang dipergunakan untuk bertani. Karena penambahan emper yang mengelilingi keseluruhan bangunan pokok, maka struktur utama terletak di tengah dan lebih tinggi dari emper. Hal ini membuat bangunan menjadi lebih tinggi pada posisi tengah dalam ruang sehingga sirkulasi udara didalamnya menjadi lebih sehat dan hawa panas dapat keluar dari bukaan tutup keong sisi kanan dan kiri atap.
Rumah Tradisional Jenis Kampung Klabang Nyander
Rumah tradisional ini merupakan varian dari bentuk bangunan Rumah Kampung Pokok yang mempunyai dua buah tutup keong pada sisi kiri dan kanan atapnya. Mempunyai balok yang sering disebut sebagai “pengeret” sebanyak 4 buah atau 6 buah. Terdapat dua atap pada kedua belah sisinya, hal tersebut yang membuat rumah tradisional ini disebut sebagai klabang nyander. Perubahan bentuk atap yang sederhana menjadi lebih tinggi dan berundak pada posisi wuwung menghasilkan bentuk interior ruang tengahnya menjadi lebih maksimal geometri ketinggiannya. Perubahan ini membuat sirkulasi penghawaan didalam ruang cukup baik. Penambahan bukaan jendela mungkin dapat disesuaikan dengan ruang dan fungsinya. Keseluruhan konstruksi rumah ini menggunakan kayu yang kuat seperti kayu jati, kayu nangka, kayu kelapa “glugu”, ataupun bambu.
Rumah tradisional Jenis Kampung Gajah Njerum
Merupakan bangunan tradisional jawa varian dari model rumah tradisional kampung pokok. Rumah tradisional ini seperti rumah yang terpotong jika dilihat dari penampilan bangunannya, sebab hanya memiliki 3 buah emper sebagai ciri khas yang menarik perhatiannya. Dua buah emper terletak pada bagian muka dan belakang rumah sedangkan satu buah emper terletak pada satu sisinya saja, jadi terlihat ganjil secara structural geometri bentuk bangunan serta peruangan pada denah didalamnya. Bangunan ini menggunakan 20 tiang saka atau 24 tiang saka dan seterusnya yang disesuaikan dengan besaran ruang yang diinginkan. Terdapat dua buah “tutup keong” pada penutup samping atapnya. Keganjilan bangunan ini mungkin akan indah jika ada bangunan yang sama disampingnya, jadi metode konsep kopel pada pembangunan property dapat mengacu pada bentuk dasar bangunan yang sederhana ini.

Rumah Tradisional Jenis Kampung Cere Gancet
Merupakan bangunan tradisional jawa yang berasal dari bentuk dasar rumah tradisional kampung pokok. Bangunan ini adalah perkembangan dari rumah tradisional kampung jenis Pacul Gowang. Yaitu dua buah bangunan bentuk kampung Pacul Gowang yang disatukan pada bagian yang tidak mempunyai tambahan emper. Jadi pada bangunan jenis Kampung “Cere Gancet” ini mempunyai dua buah wuwung yang sama ketinggiannya. Bangunan ini mempunyai 4 buah buah “Tutup Keong” pada bagian atapnya dan memiliki talang air pada potongan tengah bangunan atap gentengnya sebagai sirkulasi sanitasi air hujan. Bentuk bangunan ini cenderung besar dan berfungsi untuk keluarga besar dengan status sosial memiliki perekonomian yang baik sebab memerlukan bahan bangunan yang cukup banyak. Menggunakan 20,24 saka atau tiang dan seterusnya sesuai dengan keperluan besaran ruang. Dibawah atap berunjung terdapat balok penanggap yang berfungsi mengikat rigitifitas struktur agar kuat menahan beban dua buah wuwungan diatasnya serta emper-nya. Penggunaan dua buah wuwung dan 4 buah tutup keong menjadikan rumah tradisional ini terlihat gagah walaupun bentuknya sederhana jika dilihat dari sisi visual perspektif.

Rumah Tradisional Jenis Kampung Semar Pinondhong
Rumah tradisional ini mempunyai identitas yang berbeda dengan rumah model kampung lainnya. Bangunan rumah ini hanya menggunakan saka yang berjajar di tengah menurut panjangnya bangunan. Jumlah saka yang dipergunakan dapat berjumlah 4 buah, 6 buah atau 8 buah dan seterusnya sesuai dengan panjang bangunan. Bangunan ini menggunakan dua buah sisi atap yang ditopang oleh balok melintang sebagai penyangga usuk dan reng serta penutup atapnya. Dipergunakan Konsol atau balok yang dipasang siku sebagai penyangga balok melintang agar struktur atap dapat stabil dan seimbang. Bangunan ini mempunyai dua buah “tutup keong’ dan satu buah wuwung. Jenis bangunan ini sering diterapkan sampai saat ini sebagai tempat berteduh di taman-taman atau halte bis atau pelindung pintu gerbang utama rumah, tetapi bentuknya di sesuaikan dengan besaran yang diperlukan. Keseluruhan konstruksi tetap menggunakan kayu keras dan kuat sedangkan pada perkembangannya digunakan struktur dari konstruksi logam yang lebih disederhanakan lagi bentukannya.
Rumah Tradisional Jenis Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu
Rumah tradisional ini merupakan varian dari “rumah kampung pokok”, mempunyai bentuk bangunan yang menyerupai rumah tradisional model kampung lambang teplok, tetapi rumah ini memiliki emper yang mengelilingi struktur utama sedangkan pada rumah kampung lambang teplok hanya mempunyai 2 buah emper pada bagian depan dan belakang rumah saja. Rumah kampung lambang teplok semar tinandhu ini juga menggunakan regangan pada atapnya yaitu bagian rangka atap “brunjung” dan bagian atap bawah sebagai “penanggap”. Rumah kampung ini mempunyai dua buah tutup keong pada sisi kanan dan kiri atap “brunjung”-nya. Regangan pada bagian atap berfungsi memperbaiki sirkulasi penghawaan didalam ruang dan menambahkan pencahayaan pada ruang dalamnya. Keseluruhan konstruksi tetap menggunakan bahan dasar kayu jawa yang keras dan kuat seperti kayu jati (teak wood), kayu nangka, kayu sonokeling serta jenis kayu lainnya. Pada bagian lantai masih menggunakan tanah yang dipadatkan dan sangat keras, tetapi pada perkembangannya sudah menggunakan batu bata ekspos yang ditata rapi seperti keramik. Bangunan ini tidak menggunakan pondasi batu kali atau pondasi rolag, jadi hanya pondasi setempat saja pada tiang-tiang kolom. Pondasi hanya menggunakan umpak yang kuat dan dapat terbuat dari kayu atau batu yang diukir dan diberi lobang sebagai dudukan purus tiang saka atau kolom kayu. Tidak terdapat pengikat antar kolom pada bagian bawah pondasi didalam tanah seperti sloof yang kebanyakan terdapat pada bangunan-bangunan model saat ini. Jika diamati, pengikat antar kolom hanya menggunakan rangka dan dinding gebyok yang terbuat dari kayu saja sehingga bangunan tersebut mempunyai rigitifitas yang baik secara gravitasi konstruksi.
RUMAH KAMPUNG LAMBANG TEPLOK
Rumah Kampung yang memiliki renggangan atau perbedaan ketinggian antara atap Brunjung dengan atap Penanggapnya. Biasanya digunakan untuk gudang genteng, rumah tobong genteng atau kapur.

1 komentar: